CERAMAH TENTANG RAMADHAN: PERSIAPAN MENYAMBUT RAMADHAN

Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah[2]: 183)
“Wahai orang-orang yang beriman”, di sini Allah memanggil orang yang beriman. Maka siapa yang merasa dirinya beriman hendaknya dia terpanggil dengan panggilan ini. Tentu orang yang tidak beriman, dia tidak merasa terpanggil. Yang merasa terpanggil hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan kehidupan akhirat. “Wahai orang-orang yang beriman”, biasanya kalau Allah mengatakan يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُو biasanya setelahnya perintah atau larangan.
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”, ini menunjukkan bahwa puasa sudah disyariatkan pada umat-umat sebelum kita. Maka di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk puasa. Dan diawal-awal, Allah mewajibkan berpuasa setiap bulan 3 hari dan Allah mewajibkan puasa di bulan Dzulhijjah tanggal 10. Namanya puasa Muharram. Lalu kemudian setelah Allah turunkan tentang ayat-ayat puasa Ramadhan, maka kewajiban tersebut dihapus.
“Agar kalian bertakwa” Ini sudah dibahas pada kajian Ceramah Tentang Puasa: Targhib Ramadhan. Ini adalah bantahan terhadap orang-orang Mu’tazilah yang mengatakan bahwa katanya Allah berbuat tanpa hikmah. Jadi menurut orang-orang Mu’tazilah dan sebagian Asy’ariyah mengatakan bahwa Allah berbuat tanpa hikmah. Maka ini jelas tertolak. Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan hikmah, apa tujuan daripada diwajibkan shaum Ramadhan. Berarti hikmah atau tujuan dari pada shaum adalah agar kamu bertakwa. Maka ini juga menunjukkan bahwa tanda diterimanya shaum seseorang adalah menghasilkan taqwa.
Bila ada yang bertanya,  ustadz kalau kita keluar bulan Ramadhan dalam keadaan tidak mendapatkan ampunan kan dido’akan kecelakaan? Sebagaimana telah dibahas tadi malam (pada kajian Ceramah Tentang Puasa: Targhib Ramadhan). Sekarang, apa tanda orang yang setelah bulan Ramadhan mendapat ampunan dari Allah? Tandanya bahwa ia setelah Ramadhan semakin bertakwa. Karena tujuan daripada shaum adalah untuk menghasilkan taqwa. Berarti, disaat shaum Ramadhan itu tidak menghasilkan taqwa, shaum kita belum diterima.
Lalu kemudian Allah Ta’ala berfirman di ayat selanjutnya yaitu ayat 184:
أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ
“Hari-hari yang terhitung”
Kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa Ramadhan adalah hari-hari yang terhitung? Seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengesankan bahwa yang diwajibkan kepada kamu hanya sedikit, beberapa hari saja. Ini untuk memberikan motivasi. Sebab kalau orang belum apa-apa di maindsetnya sudah menganggap lama, biasanya yang terjadi kurang sabar dan dan menganggap ini beban.
Maka di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan, “hari-hari yang terhitung.” Seakan kita agar tidak berat dalam melaksanakan puasa Ramadhan, jangan kita memikirkan panjangnya hari. Tapi kita anggap ini masyaAllah hanya 30 hari saja, tidak sampai 300 hari.
Seseorang terkadang karena sibuk kerja, tidak terasa sudah jum’at lagi. Kenapa bisa terjadi seperti itu? Karena ada kesibukan. Saat kita banyak kesibukan, sehingga kita tidak memikirkan hari.

Kalau kita menghitung-hitung hari, ini akan menimbulkan futur.
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka siapa diantara kalian sakit atau safar, lalu ia tidak mampu berpuasa, maka handaklah diganti pada hari-hari yang lain”
Ini menentukan bahwa orang yang sakit tidak wajib puasa. Lalu apa batasan sakit? Sakit yang dimaksud yaitu yang membuat puasa kita berat. Adapun kalau tidak pengaruh sama sekali puasa kita, maka tetap kita berpuasa. Begitupun juga ketika kita safar, kita tidak wajib untuk puasa. Ketika seseorang umroh dibulan Ramadhan kemudian ternyata bertepatan dengan musim panas. Lalu dia berfikir untuk tidak puasa, maka ini tidak mengapa. Namun terjadi ikhtilaf para ulama, mana yang lebih utama bagi orang yang safar? Apakah shaum atau tidak? Yang rajih adalah melihat pada keadaan. Kalau keadaan dia kuat walaupun dalam keadaan safar, maka yang seperti ini lebih utama puasa. Tapi kalau ternyata puasa justru melelahkan dia, maka yang lebih utama adalah dia tidak puasa.
Lalu Allah mengatakan:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
“Dan atas orang-orang yang mampu berpuasa tapi tidak berpuasa, maka cukup bayar fidyah.”
Ketahuilah saudaraku, kewajiban puasa Ramadhan itu terbagi menjadi tiga fase. Yaitu:
Sebatas diberikan pilihan antara berpuasa atau tidak. Bagi mereka yang tidak puasa wajib membayar fidyah.Mereka wajib puasa 24 jam. Saat masuk magrib, siapa yang tertidur tidak diperbolehkan berbuka sampai maghrib berikutnya.Berpuasa dimulai dari terbit apa fajar sampai terbenam matahari.Kata Ibnu ‘Abbas bahwa ayat ini masih berlaku. Yaitu untuk:
Orang yang tua renta yang tidak mampu puasa, maka dia wajib membayar fidyah.Wanita hamil dan menyusui, maka dia wajib membayar fidyah.Ini pendapat Ibnu ‘Abbas. Demikian pula didukung oleh fatwa Ibnu Umar bahwa wanita hamil dan menyusui cukup membayar fdyah kalau dia tidak bisa puasa.
Sebagian ulama mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui wajib atas dua hal. Yaitu shaum dan fidyah. Ada lagi yang mengatakan, tidak. Wanita hamil dan menyusui wajib qadha saja kalau tidak puasa. Saya lebih condong kepada pendapat Ibnu ‘Abbas. Dimana Ibnu ‘Abbas mengatakan cukup fidyah saja. Ini yang dirajihkan oleh Syaikh Albani dan banyak lagi para ulama. Wallahu A’lam. Bahkan Ibnu Qudamah mengatakan bahwa dia tidak menemukan adanya penyelesaian dari Sahabat lain.

BalasTeruskan